In Bangkit Dari Keterpurukan

Perlakuan diskriminatif dan stigma sosial akibat kusta biasanya membuat orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) merasa tidak percaya diri dan putus harapan. Tetapi tidak demikian halnya bagi Indrawati Ratmadja, seorang OYPMK asal Saparua, Maluku Tengah. Perempuan kelahiran 1983 yang suka disapa “In” itu menggunakan pengalaman pahitnya untuk membantu OYPMK lain yang mengalami diskriminasi seperti dirinya.

In adalah seorang  kepala rumah tangga. Ia telah berpisah dengan suaminya sejak 17 tahun lalu. Dibantu ayahnya, Ia menghidupi dua anak perempuan, Novi (20) dan Avril (17), dengan bekerja serabutan sebagai pencari batu, pembuat sapu, pencuci pakaian tetangga dan penjual bensin eceran.

In menemukan bercak mati rasa di pipi kirinya saat ia berusia 16 tahun dan masih bersekolah di SMA. Karena tidak tahu penyakit apa yang dialaminya itu, ia tidak pernah menceritakannya kepada siapapun.

“Saya tidak tahu tentang kusta. Gejalanya seperti apa, saya tidak tahu. Karena itu, saya tidak memedulikan bercak di pipi itu,” ujarnya.

Namun, setelah hampir 10 tahun, penyakit kusta itu semakin menyerang tubuhnya dan mengakibatkan jari-jari tangannya mengalami kiting dan beberapa bagian tubuh mati rasa. Ia akhirnya pergi berobat ke Puskesmas Saparua pada 2008 dan didiagnosa kusta. Ia mendapat pengobatan kusta di bawah pengawasan Kepala Puskesmas Saparua dr. Handri dan 2 orang Technical Advisor NLR untuk Maluku, yaitu dr. Steaven, dan dr. Teky Budiawan.

“Sebenarnya pengobatan kustanya tidak lama, tapi saya membuatnya menjadi lama karena tidak minum obat secara teratur sehingga harus bolak-balik ke puskesmas. Saya masih tidak percaya terkena kusta. Saya menganggap ini penyakit guna-guna, seperti yang dipercaya orang di Saparua. Namun akhirnya sy sadar bahwa saya memang terkena kusta,” kisah In.

Anak pertama In, Novi, juga tertular kusta. Kemungkinan In menularkan penyakit ini karena kontak erat cukup lama ketika In belum pergi berobat. Beberapa jari tangan Novi bengkok. Novi akhirna juga berobat bersama In di Puskesmas Saparua hingga sembuh. Novi juga mengalami penyakit disleksia yang memperlambat kemampuan belajarnya.

Hari-hari penuh stigma

Selama berada dalam kondisi sakit hingga paska pengobatan kusta, In mengalami berbagai tindakan penuh stigma dan diskriminasi. Tetangganya, misalnya, sering kali bergegas masuk rumah dan menutup pintu saat In lewat di depan rumah mereka. Di tempat ibadah, In merasakan bahwa jemaat tidak menyukai kehadirannya. Rumahnya di Saparua pun harus dibangun jauh dari pemukiman warga, agak di tengah hutan.

“Penyakit yang saya alami juga berdampak pada dua anak saya. Mereka bercerita bahwa mereka sering diejek, dihina, dijauhi dan dibuat nangis oleh teman-temannya di sekolah. Tas anak saya diambil dan bukunya disobek,” kisahnya.

“Yang saya lakukan biasanya mengajak mereka bicara, makan dan tidur bersama dan berdoa bersama agar anak-anak tegar dan tidak mengingat pengalaman pahit di sekolah,” lanjutnya.

Di kampus dimana ia mengikuti kuliah Ilmu Administrasi selama 4 tahun pada 2014 hingga 2017, In tidak pernah mendapat kesempatan belajar mengoperasikan computer karena ia tidak diijinkan masuk ke ruang komputer.

“Padahal, saat harus menyelesaikan tugas dan laporan kuliah, saya perlu mengetik dengan komputer. Tapi saya tidak boleh masuk dan memakai komputer di situ. Akibatnya, saya amat sangat terlambat mengetahui cara mengoperasikan komputer,” tuturnya.

Perubahan Penting

In bertemu pertama kalinya dengan seorang senior technical advisor NLR Indonesia, dr. Teky Budiawan saat ia mendapat pengobatan kusta di Puskesmas di Saparua pada 2008. Dr. Teky memperhatikan In terutama perjuangannya dalam menghadapi stigma dan diskriminasi.

“Saya tergerak untuk membantunya karena ia menghadapi masalah sosial yang berat. Namun, ibu In punya kemauan yang besar untuk maju dan mandiri”, ungkap Dr Teky. Ia kemudian mendorong dan membantu In melanjutkan kuliah di jurusan ilmu administrasi di Saparua pada 2014.

Setelah menyelesaikan kuliah, In tetap harus berjuang untuk menyambung hidup keluarganya. Ia berjualan bensin eceran selama beberapa waktu sebelum ia berhenti berjualan karena digosipkan mencampur bensin eceran. Ia pun pindah ke Ambon. Ia bertemu kembali dengan Dr. Teky yang menawarkannya pekerjaan sebagai project officer di NLR Indonesia pada akhir tahun 2020.

“Saya bingung karena awalnya saya berpikir akan bekerja sebagai cleaning service, tapi ternyata sebagai project officer. Saya akui kemampuan dan keterampilan IT saya tidak memadai.  Lagian, saya tidak pernah membayangkan bekerja di kantor dengan posisi setinggi ini,” ucapnya.

In merasa bahagia karena telah dianggap sebagai manusia dan diberi kesempatan untuk bekerja di lingkungan organisasi kemanusiaan seperti NLR. Ia bahagia karena dapat memberi makan keluarganya secara lebih baik.

“Kita sama-sama manusia dan perlu diperlakukan yang sama meskipun kami cacat. Saya ingin membantu orang-orang yang mengalami cacat karena kusta. Saya ingin agar mereka diakui sebagai manusia dan tidak dipandang remeh karena kekurangan dan keterbatasan tubuh,” tegasnya.

Lanjutnya, dengan bekerja di NLR, ia hendak membuktikan bahwa orang seperti dirinya yang mengalami disabilitas  tetap dapat berkarya dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Ia pun bersedia untuk selalu belajar.

Chat Kami
Send via WhatsApp
Scroll to Top