Taufik Rahman (50) dapat tersenyum sedikit lega ketika selama beberapa tahun terakhir tidak ditemukan kasus kusta tingkat dua. Meskipun kasus kusta masih ada di Desa Rancabango, jumlahnya sudah jauh menurun, yaitu 6 kasus di 2021, dibandingkan di tahun 1991 yaitu sekitar 30 kasus per tahun ketika ia mulai bekerja di Puskesmas Rancabango.
Taufik Rahman bekerja sebagai petugas kusta selama 27 tahun sejak 1991 hingga 2018 di Puskesmas Rancabango. Ia tahu betul kondisi kusta di wilayah Rancabango.
“Setelah saya diangkat menjadi petugas kusta di tahun 1991, saya pergi ke berbagai tempat di Desa Rancanbango dan menemukan banyak penderita kusta yang mengalami disabilitas tingkat dua. Ini belum termasuk yang diasingkan atau mengasingkan diri,” ujarnya.
Di tahun 90an, masyarakat menganggap kusta penyakit biasa dan tidak tahu konsekwensinya apabila dibiarkan tanpa pengobatan. Selain itu beredar pula stigma kusta sebagai guna-guna dan kutukan. Tingginya stigma kusta, membuat Taufik tidak pernah duduk nyaman di Puskesmas. Segera setelah mengisi daftar hadir, ia langsung pergi “berburu” ke lapangan bersama timnya, mencari penderita kusta yang diasingkan oleh keluarga atau yang mengasingkan diri untuk dirawat secara intensif.
Didukung dinas kesehatan, aparat desa dan tokoh masyarakat, ia secara rutin memberi informasi penyakit kusta di musyawarah desa, mingguan desa, hajatan. Dari NLR, Taufik juga mendapatkan pembekalan tentang penanganan kusta, materi-materi penyuluhan, serta bantuan transport untuk kunjungan ke desa-desa.
“Butuh kesabaran dan waktu panjang agar masyarakat paham benar tentang kusta. Dan alhamdullilah, di awal tahun 2000, kasus kusta dan pengobatan disabilitas kusta tingkat dua mulai menurun. Masyarakat antusias dalam kegiatan pemeriksaan bercak dan saling memberi informasi,” ujar Pak Taufik yang sekarang menjadi Kepala Sub Bagian Tata Usaha Puskesmas Rancabango sejak 2019.
Ia punya sekian banyak kenangan menangani orang yang terkena kusta. Pertama, pada 2011 ia menemukan dan merawat Mulyati yang mengalami berkali-kali reaksi kusta dan berisiko disabiltias tingkat dua pada usia 13 tahun. Namun berkat kesabaran Taufik dan niat sembuh dari Mulyati, akhirnya Mulyati dapat sembuh sempurna tanpa disabilitas.
Satu orang lain adalah Darmanto (28). Ia mengunci diri hampir 4 bulan di kamar karena seluruh tubuh dan wajahnya terdapat bercak keputihan dan bengkak-bengkak. Ia sudah coba berkonsultasi ke puskesmas, namun ia dianggap terkena alergi. Karena makin parah, Ia tak berani keluar rumah karena malu dengan orang sekitar. Taufik diberitahu oleh warga setempat dan mendatangi Darmanto. Ia menenangkan Darmanto dan mengobatinya selama 1 tahun. Darmanto sudah sembuh dan kini bekerja sebagai supir traktor pertanian.
“Saya merasa bahagia sekali apabila dapat menemukan pasien kusta sedini mungkin hingga mereka dapat sembuh tanpa disabiltias dan dapat berkarya di masyarakat. Mulyati bisa sembuh, padahal waktu itu saya sangat kuatir dengan kondisinya, apalagi ia masih anak-anak. Bagaimana masa depannya, pikir saya. Juga Darmanto bisa sembuh padahal ia sebelumnya sempat frustrasi. Namun saya minta ia bersabar, rajin berobat dan tidak perlu malu,” kisahnya.
Taufik sadar betul bahwa penderita kusta yang mengalami disabiltas tingkat dua akan mengalami masalah sosial di hidupnya maupun hidup orang-orang di sekitarnya. Ia sudah berjuang maksimal dalam menangani kusta di Rancabango. Ia sadar pula penularan kusta masih terjadi. Meski demikian, kasus disabilitas tingkat dua tidak ditemukan selama beberapa tahun belakangan ini di Rancabango. Dan Taufik tetap akan mengawal program kusta di Puskesmas Rancabango walaupun ia sudah tidak menjadi petugas kusta.