Berawal dari insiden yang dialami oleh anak bungsunya (6) tahun pada 2013, saat  itu lengan kanan anaknya terbakar lilin namun tidak berasa sakit. Hal ini membuat Ibu Anita heran. Segera ia membawa anaknya ke Puskesmas Ulu, Sulawesi Utara. Di sana, seluruh tubuh anaknya diperiksa dan ditemukan  empat bercak kulit mati rasa di punggung. Kemudian dokter puskesmas memberikan rujukan ke dokter spesialis anak di Rumah Sakit Sawang. Setelah pemeriksaan, dokter RS Sawang kembali merujuk anak tersebut ke puskesmas dengan diagnose kusta.

Ibu Anita syok mendengar hal itu karena pada hari itu anaknya akan mengikuti lomba nyanyi Bintang Vokalia. Maka ia langsung ke sekolah dan berkata ke pada guru dan kepala sekolah.

“Anak saya tidak jadi ikut lomba karena sakit kusta”, lapor ibu Anita.

Namun pihak sekolah justru memberi semangat dan ingin anak bungsunya tetap ikut lomba. Para guru tidak terlihat takut. Bahkan kemudian mereka sangat mendukung selama pengobatan.

Ibu Anita dan suaminya sempat kalut dan sedih karena mereka menganggap kusta adalah kutukan, seperti yang mereka pernah baca di Kitab Suci. Kebetulan sang suami bekerja sebagai sopir dari salah satu pejabat yang anaknya adalah staf kesehatan dan menceritakan hal ini. Maka disarankan agar petugas puskesmas turun ke sekolah memeriksa teman-teman di sekolah anaknya, masyarakat sekitar rumah, dan seluruh anggota keluarga. Saran tersebut segera ditindaklanjuti oleh puskesmas.

Petugas kusta puskesmas melakukan pemeriksaan kontak serumah terhadap lima orang yaitu: suami, ibu Anita, dan tiga anak. Ternyata ibu Anita dan anaknya yang ke-3 terkena kusta. Ibu Anita memiliki bercak kusta di lengan kiri atas bewarna kemerahan, dan tidak gatal sejak setahun sebelumnya (2012). Namun gejala ini dianggap sebagai penyakit “kado ayam”  yang dalam bahasa lokal berarti penyakit kulit seperti panu. Ia pernah periksa di puskesmas namun dinyatakan alergi makanan. Diberi obat, namun ia tidak pernah berkonsultasi lanjutan di puskesmas.

Selama pengobatan, ibu Anita dan kedua anaknya jarang keluar rumah bahkan tidak beribadah selama dua bulan pertama. Ia kuatir penyakitnya menularkan. Pendeta mendatangi rumahnya untuk berdoa dan menguatkan. Tetangganya pun tidak mau bergaul. , Ia sempat berhenti bekerja serabutan seperti  mencuci, setrika, dan bekerja di took pasar selama dua bulan.  Tapi seiring waktu, ia memberanikan diri keluar rumah dan tahu kusta ini bukan kutukan.

Di sekolah beberapa teman dari anaknya tidak mau bermain karena dilarang oleh orang tuanya. Di rumah, ada teman-teman yang tetap datang bermain di rumah, namun ada juga orang tua yang melarang. Ibu Anita tidak merasa tertekan walau ada tetangga yang masih takut, karena ibu berprinsip: “sudah minum obat dan pasti sembuh”.

Setelah selesai pengobatan selama satu tahun dan dinyatakan sembuh, ibu Anita dipilih menjadi kader kesehatan oleh pihak kelurahan setempat. Ia dilibatkan dalam kegiatan penyuluhan kusta di lingkungan, memberikan testimoni, membantu dan menguatkan pasien kusta yang lain. Berkat kehadirannya, pasien kusta mau menerima penyakitnya. Ibu Anita juga membantu mengambil obat kusta di puskesmas, mengantar pasien kontrol ke puskesmas, dan kadang membayar ongkos transport (ojek) pasien.

“Saya tergerak mau bantu pasien kusta karena sudah  pernah merasakan sakit kusta,” ucap ibu Anita.

Sampai saat ini, bila bertemu orang dengan gejala seperti kusta, ibu Anita segera elapor ke puskesmas, atau mengantarnya ke puskesmas, atau mengunjungi orang tersebut bersama petugas puskesmas.

Yang luar biasanya lagi, bila anggota masyarakat memiliki gejala kusta, mereka datang ke rumah ibu Anita atau meneleponyan untuk bantu mengecek apakah mereka punya gejala kusta atau tidak. Terhitung sudah tujuh orang dibantunya dan berhasil sembuh. Hanya satu pasien menolak pengobatan karena percaya di-“guna-guna” dan pasien tersebut telah meninggal.

Suami dan anak-anak sangat mendukung Ibu Anita dalam membantu orang-orang susah. Ibu Anita merasa bersyukur pernah sakit kusta membuatnya tersentuh dan tergerak untuk bantu orang lain yang sakit kusta juga. Ia memberikan  semangat ke pasien, mengatakan bahwa mereka pasti bisa sembuh asal rajin minum obat, dan obat gratis.

Bu Anita berprinsip: “membantu orang dengan tulus, tidak mengharapkan imbalan akan membawa kepuasan. Saya sudah melihat dan merasakan bahwa keluarga saya diberkati”, ujar ibu Anita yang pernah bercita-cita menjadi seorang pendeta.

Sepuluh tahun berlalu sejak dia dinyatakan terkena kusta, kini Ibu Anita melanjutkan usaha berjualan kue sambil beraktivitas sebagai kader kesehatan di posyandu, dan melakukan kunjungan rumah ke pasien kusta ataupun suspek bersama petugas kusta Puskesmas. Ia melihat manfaat dari pemberian obat pencegahan kusta (kemoprofilaksis) yaitu semakin banyak orang mejadi tahu tentang kusta, stigma kusta berkurang di masyarakat dan menemukan pasien kusta sedini mungkin untuk pengobatan yang teratur.***  dr. Sioly Soempiet, Ulu Siau, 23 Oktober 2025

Open chat
Halo Kak, bila ingin berkomunikasih dengan NLR Indonesia, silahkan klik disini ya kak