Semula saya menganggap bahwa kusta adalah cerita dongeng belaka, yang dituturkan antar generasi untuk membuat orang agar berbuat baik jika tidak ingin dijangkit.
Adalah perjalanan kelima saya ke tempat ini, sebuah pulau kecil yang dikelilingi laut biru, di mana gunung Gamalama berdiri megah mengawasi kota dan para pelautnya. Orang-orang menyebutnya Kota Pala, karena cengkeh dan pala merupakan komoditas rempah yang pernah mengguncang dunia pada masanya. Namun bukan itu yang membawa saya ke sini, satu-satunya alasan adalah cerita tentang kusta disana. Sudah lebih dari satu dasawarsa saya menggeluti bidang yang tak terbayangkan oleh sebagian besar orang. Setiap langkah, setiap pertemuan, dan setiap kisah yang saya dengar telah mengubah cara pandang saya. Kusta tidak hanya tentang penyakit itu sendiri, tetapi juga tentang manusia dan harapan mereka untuk keluar dari keterpurukan. Saya pun harus mengakui dengan berat hati, bahwa kusta beserta segala kompleksitasnya masih hadir di Indonesia.
Kota Ternate, ditengah ramainya aktivitas perekonomian warga dan destinasi wisata yang mendunia, terdapat juga kisah yang lebih dalam. Cerita tentang orang-orang yang bertahan dalam keterasingan karena mengidap penyakit kusta. Masyarakat Ternate masih ada yang mengkaitkan kusta dengan dotti (santet). Hal tersebut menjadikan ‘kusta’ sebagai sebuah kata yang sering dibisikkan orang, kadang dalam ketakutan, kadang dalam penolakan. Penyakit ini memang tidak mudah menular dan lambat menyebar, namun menyingkirkannya juga bukan hal yang mudah.
Saya kembali membuka Profil Kesehatan Indonesia yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2023. Dokumen tersebut bercerita tentang data prevalensi kusta pada tahun yang sama, tercatat sebesar 0,63 kasus per 10.000 penduduk. Sementara angka penemuan kasus baru sebesar 5,2 kasus per 100.000 penduduk. Angka yang mungkin tampak kecil, tapi bagi saya, setiap angka mewakili nyawa, mewakili kehidupan, dan mewakili sebuah keluarga. Saya tak bisa berbohong, membacanya memicu campuran rasa antara sebuah kesadaran, tantangan, tapi juga sebuah harapan. Angka-angka ini adalah pengingat bahwa masih ada pekerjaan besar yang menunggu di depan, bahwa Indonesia masih harus berjuang lebih keras untuk mengatasi hambatan-hambatan, baik yang bersifat medis maupun yang tersembunyi di balik stigma sosial.
Selama sebelas tahun terakhir, angka penemuan kasus baru kusta di Indonesia memang menunjukkan penurunan. Setiap tahun saya menyaksikan sedikit demi sedikit kemajuan yang telah dicapai. Indonesia sedang berjalan perlahan menuju sebuah masa depan yang bebas dari penyakit kusta. Namun harapan itu seperti disela oleh kenyataan pahit. Pada 2022, tren yang diharapkan terus menurun justru berbalik arah. Tahun 2023 terdapat 14.376 kasus baru kusta di Indonesia, hampir 90% di antaranya adalah kusta tipe Multi Basiler (MB). Jenis ini berbeda dari tipe tuberkuloid atau Pausibasiler yang lebih ringan. Tipe MB menyerang banyak jaringan saraf sekaligus, menyebar lebih mudah, dan cepat menimbulkan gejala yang lebih serius.
Sambil menyedot alpukat kocok yang memang menjamur di kota ini, tangan saya mulai mancari file lembar fakta yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada awal 2023. Tidak dapat dipungkiri, Indonesia sebagai sebuah negara dengan impian besar untuk memerangi kusta, masih berada di peringkat ketiga dunia untuk kasus kusta baru. Predikat itu terus terngiang dalam benak saya, ribuan wajah yang mewakili angka-angka tersebut terus membayangi. Mereka, yang pada tahun ini, pada detik ini, sedang menunggu, berharap, merasakan ketakutan dan mungkin kesepian.
Angka prevalensi dan angka penemuan kasus baru kusta (NCDR) tahun 2013-2023
Sedikit informasi yang berhasil saya rangkum, kusta adalah infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri yang tangguh. Mycobacterium leprae, sejenis bakteri tahan asam yang menyusup ke dalam tubuh dengan perlahan, menyerang saraf-saraf tepi dan kulit. Menariknya, peneliti Rees dan Young (1994) mengatakan bahwa Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang benar-benar ‘menyukai’ saraf manusia. Bakteri ini tertarik pada bagian-bagian tubuh dengan suhu di bawah 37°C, membuatnya cenderung berdiam di area tubuh yang lebih dingin seperti bagian samping anggota tubuh, wajah, dan paha. Pertumbuhan mereka juga sangat lambat, membutuhkan waktu sekitar 12-13 hari hanya untuk membelah diri satu kali. Inilah sebabnya masa inkubasi kusta sangat panjang dan bisa mencapai 5 hingga 20 tahun.
Bayangkan, seseorang bisa saja membawa bakteri ini bertahun-tahun sebelum akhirnya gejala muncul. Tanda awalnya sering kali tidak kentara, hanya berupa bercak putih pada kulit yang mati rasa. Seiring waktu, hilangnya sensasi mulai meluas ke area kulit lain, terkadang membuat orang tidak menyadari betapa penyakit ini telah mengambil alih sebagian tubuhnya. Seringkali gejala yang terlihat kecil ini datang bertahun-tahun setelah paparan awal, betapa lambat dan heningnya perjalanan bakteri ini di dalam tubuh, menggerogoti saraf sedikit demi sedikit.
Kembali ke Ternate, pagi itu saya merasakan semangat yang membuncah. Saya bertemu dr. Antoneta, Junior Technical Advisor NLR Indonesia, untuk membahas situasi terkini tentang kusta di wilayah kerjanya. Bagi saya, percakapan dengan rekan-rekan seperti dr. Neta adalah momen berharga, kesempatan untuk melihat dari dekat realitas yang dihadapi di lapangan. Kami berdua sepakat bahwa kusta masih menjadi tantangan besar di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil, di mana akses kesehatan terbatas dan kesadaran masyarakat yang masih rendah.
Dalam diskusi itu, sebuah pandangan bahwa diperlukan pendekatan untuk menanggulangi kusta secara holistik selalu muncul. Selain pengobatan, penanggulangan kusta perlu mengedepankan pencegahan, deteksi dini, dan kesejahteraan mental para pengidap. Stigma yang melekat pada kusta juga harus dikikis dengan edukasi, dan komunitas perlu dirangkul untuk menjadi bagian dari solusi. Kami semakin mengerucut, ketika dr. Neta mulai menceritakan salah satu inisiatif unggulan yang tengah diimplementasikan oleh NLR Indonesia. Desa Sahabat Kusta atau DESAKU merupakan program kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Ternate. DESAKU hadir sebagai program berbasis komunitas yang bertujuan mengurangi beban kusta, di wilayah pemerintahan terkecil seperti desa atau kelurahan. Dengan melibatkan kelompok masyarakat potensial dan petugas puskesmas, intervensi ini mampu menjawab tantangan dalam upaya preventif. “DESAKU bukan sekadar program sesaat,” jelas dr. Neta. “Ini adalah upaya yang terus-menerus, yang bertumpu pada partisipasi warga untuk membangun lingkungan yang lebih sadar dan peduli terhadap penyakit kusta.”
Saya terkesan mendengar bagaimana program ini telah berkembang di enam Kelurahan di Kota Ternate. Menurut dr. Neta, intervensi tersebut menunjukkan perubahan signifikan, khususnya dalam cara masyarakat memahami dan merespons kasus kusta. “Masyarakat kini sudah bisa mengenali gejala-gejala kusta dan tahu pentingnya merujuk suspek ke puskesmas,” ujarnya dengan senyum bangga. Jumlah suspek kusta yang berhasil dirujuk oleh masyarakat juga meningkat drastis, menjadi bukti bahwa pendekatan komunitas ini efektif. Program DESAKU seolah membawa angin segar, membangun kesadaran kolektif yang begitu penting bagi deteksi dini dan pencegahan. Dalam hati, saya merasa harapan ada baru. Ini adalah perubahan nyata yang bisa dilihat dan dirasakan. Lokasi intervesi yang dulunya penuh stigma dan ketakutan, kini perlahan bertransformasi menjadi tempat yang lebih progresif dalam pencegahan kusta. Pertemuan dengan dr. Neta telah membawa semangat baru dan sebuah keyakinan bahwa dengan kolaborasi dan pendekatan yang tepat, mimpi Indonesia yang bebas dari kusta bukanlah sekadar harapan kosong.
Perkenalan saya dengan Risal Assor terjadi empat tahun yang lalu, di sebuah acara temu jaringan, di mana dia memainkan saxophone dengan penuh penghayatan. Kala itu, saya tidak menduga bahwa pria pengguna kursi roda tersebut juga seorang staf ahli walikota. Ikatan kami semakin kuat ketika saya mengetahui bahwa ia juga mendirikan organisasi dengan nama Ikatan Keluarga Disabilitas Maku Gawene (IKDM), sebuah organisasi penyandang disabilitas yang ia bentuk sejak 2007 di Ternate. Saat ini IKDM menjadi mitra strategis NLR Indonesia dalam penanggulangan kusta di sana, secara spesifik mereka akan membuka jalan bagi pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan untuk mempertemukan orang yang pernah mengalami kusta kepada layanan dasar.
Dengan organisasi lokal seperti IKDM, upaya mengatasi kusta terasa lebih dekat dan relevan. Mereka tidak hanya memahami masyarakat setempat, tetapi juga memiliki cara yang akrab dalam menyampaikan pesan dan informasi penting. Bersama IKDM, program NLR Indonesia bisa menjangkau lebih dalam ke lapisan masyarakat yang sebelumnya mungkin tertutup, tersekat oleh ketakutan akan penyakit ini. Selain itu, IKDM berperan besar dalam membangun sistem rujukan yang lebih efisien, memastikan bahwa pasien dengan kusta tidak perlu merasa terisolasi atau terhalang dalam mendapatkan layanan dasar yang mereka butuhkan. Risal tahu, betapa pentingnya peran ini dalam pencegahan deformitas, dan yang terpenting pasien kusta dapat mengakses layanan tanpa diskriminasi.
Saat saya temui di rumahnya, Risal menekankan bahwa kolaborasi dengan organisasi penyandang disabilitas atau organisasi lokal lainnya memberikan dampak yang lebih dari sekadar angka dan laporan program. “Jika masyarakat ikut bergerak, jika mereka mengerti bahwa deteksi dini dan perawatan itu penting, maka pencegahan kusta bisa dilanjutkan oleh mereka sendiri,” ucapnya penuh keyakinan. Kolaborasi ini memberi ruang bagi keberlanjutan, ketika masyarakat diajak terlibat dan berdaya, mereka memiliki kesadaran dan kemampuan untuk melanjutkan upaya pencegahan bahkan setelah program intervensi berakhir. Risal dan IKDM juga menjadi bukti bahwa perubahan nyata terjadi ketika peningkatan partisipasi diterapkan. Mereka mengajarkan bahwa penanggulangan kusta bukan hanya soal menyembuhkan penyakit, tapi juga soal membangun pemahaman dan keberanian di hati masyarakat.
Kota Ternate memiliki sejarah yang panjang dalam menghadapi kusta. Penelitian Hadipurnomo pada tahun 2008 telah menggali faktor-faktor yang memperparah penyebaran penyakit ini. Beliau menyimpulkan bahwa riwayat kontak erat, pengetahuan masyarakat yang rendah, kepadatan hunian, dan kondisi ekonomi yang sulit adalah faktor risiko utama yang memperkuat transmisi kusta. Pada saat itu, prevalensi kusta di Ternate mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu 9,8 per 10.000 penduduk, membuat kusta tampak sebagai bayangan kelam yang menyelimuti kota ini.
Melalui pengalaman panjang dan tantangan yang tak mudah, pemerintah setempat telah berjuang keras untuk menghadirkan layanan kesehatan yang komprehensif. Upaya mereka mencakup deteksi dini dan perawatan di seluruh puskesmas, serta pemberian post-exposure prophylaxis (PEP) kepada kontak dekat pasien. Ini adalah langkah yang tidak main-main, usaha yang dirancang untuk melindungi keluarga dan komunitas dari infeksi lebih lanjut. Berdasarkan laporan dari indotimur.com, Dinas Kesehatan dan 11 puskesmas di Kota Ternate sekarang aktif melaksanakan pemberian PEP, selain melakukan penemuan kasus secara dini. Hasilnya sudah terlihat dari angka deteksi yang meningkat. Tetapi yang lebih penting, risiko disabilitas berat akibat kusta semakin menurun.
Kesadaran masyarakat pun mulai tumbuh seiring dengan kampanye dan pedukasi yang terus digencarkan. Warga Ternate, yang mungkin dulu hanya mengenal kusta dari cerita-cerita dan rasa takut, kini mulai memahami gejala awalnya. Mereka tak lagi melihat penyakit ini dengan penuh stigma dan keengganan. Alih-alih, mereka justru menjadi garda terdepan dalam mencegah penyebaran kusta, mengajak orang lain untuk lebih peduli, mengenali, dan melaporkan tanda-tanda awal ke puskesmas.
Disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehtan Kota Ternate, dr. Fathiyah Suma, M.Kes dalam sebuah kegiatan bersama komunitas kusta, bahwa pemerintah Kota Ternate tak hanya berhenti di situ. Program inovatif seperti DESAKU akan terus dilanjutkan. Beliau juga akan terus memberikan masukan kepada kepala daerah yang terpilih untuk tetap memperhatikan penanggulangan penyakit kusta. Political will adalah penopang utama yang membuat upaya eliminasi kusta bukan sekadar angan-angan. Dukungan dari seluruh elemen masyarakat menjadi bukti bahwa Kota Ternate bertekad meretas jalan menuju bebas kusta, meninggalkan sejarah kelam penyakit ini, dan membangun masa depan yang lebih sehat dan inklusif. Sementara di waktu yang sama, Sekretaris Daerah Kota Ternate, Dr. Rizal Marsaoly, SE, MM yang turut hadir juga memberikan apresiasi yang besar atas upaya bersama ini. Beliau menyampaikan rasa terima kasih kepada
NLR Indonesia, bahwa telah terdapat kemajuan dalam penanggulangan kusta di wilayahnya. “NLR Indonesia telah memainkan perannya sebagai NGO dalam mendukung pemerintah, kami mengucapkan terima kasih dan akan melanjutkan program yang sudah dirintis” imbuhnya saat membuka kegiatan.
Babak baru dalam penanggulangan kusta terasa seperti fajar yang menyingsing di cakrawala. Perubahan itu nyata, meski tantangannya seakan tiada habisnya. Upaya-upaya yang telah ditempuh selama ini bukan hanya berhasil menekan angka kusta, tetapi juga memberikan harapan bagi masa depan yang lebih cerah. Setiap langkah pencegahan, keterlibatan masyarakat, hingga advokasi kepada pemangku kepentingan telah membentuk dasar bagi perubahan yang berkelanjutan. Kota Ternate telah menunjukkan bahwa pendekatan berbasis hak asasi manusia dan pemberdayaan komunitas dapat menciptakan lingkungan yang mendukung dalam penanggulangan kusta. Melalui inisiatif ini, kasus-kasus kusta baru berhasil ditekan, stigma yang dulu begitu mengakar perlahan terurai, dan masyarakat mulai memahami pentingnya deteksi dini serta pengobatan yang tepat. Tak mudah memang, tapi semangat dan komitmen yang kuat mendorong upaya ini melampaui sekadar angka statistik.
Program-program yang ada di Ternate mengajarkan bahwa eliminasi kusta membutuhkan kerjasama pemerintah, komunitas, organisasi kesehatan, bahkan setiap individu. Bagi para penyintas kusta, ini adalah lentera harapan untuk hidup tanpa beban stigma, dan diperlakukan setara dalam mengakses layanan kesehatan yang layak tanpa rasa takut. Sekali lagi, ini bukan hanya tentang menyembuhkan penyakit, tetapi juga tentang memulihkan martabat dan rasa percaya diri.
Perjuangan melawan kusta tidak hanya membawa pesan tentang kesehatan, tetapi juga tentang keberanian, harapan, dan sebuah pengingat bahwa stigma bukanlah akhir dari cerita. Ini adalah titik awal bagi mereka yang terlibat. Kusta adalah kisah tentang kemanusiaan, tentang perjuangan melawan penyakit, tentang harapan yang nyaris pudar, namun selalu berdenyut di balik stigma yang pekat.
Angga Yanuar